Membangun Desa Mencegah Urbanisasi

SAAT arus balik Lebaran 2015, urbanisasi kerap menjadi momok bagi Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Ia disebut momok karena kota-kota besar itu sesungguhnya tidak kuat lagi menampung pertambahan penduduk.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memperkirakan akan ada sekitar 70 ribu pendatang baru masuk ke Jakarta. Celakanya, sebagian besar dari mereka ialah tenaga kerja tanpa keahlian. Jika tidak bisa memasuki formasi kerja yang ada, mereka mencemplungkan diri ke sektor informal seperti pedagang asongan atau pemulung.

Kehadiran kaum migran di kota besar seperti Jakarta, hampir dipastikan, selalu menimbulkan permasalahan pengangguran. Pemerintah Provinsi Jakarta tentu saja tidak bisa melarang orang datang ke Ibu Kota karena konstitusi menjamin setiap orang bebas memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali lagi.

Harus jujur dikatakan bahwa orang bermigrasi dari desa ke kota merupakan refleksi atas gejala kemandekan denyut ekonomi perdesaan. Faktor pendorongnya antara lain sulitnya mencari lowongan pekerjaan di desa.

Adapun faktor penariknya ialah cerita kisah kesuksesan para pemudik dengan segala bumbunya bahwa penghasilan di kota lebih tinggi ketimbang di desa.

Laju urbanisasi harus segera direm. Saat ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan laju urbanisasi tercepat di Asia. Pada 2011, proporsi penduduk daerah perkotaan di negeri ini mencapai 51% dan pada 2025 diperkirakan bakal mencapai 68%. Jika urbanisasi tidak mampu dicegah, bukan mustahil suatu ketika kita menemukan desa yang hanya dihuni para orang jompo, bahkan tanpa penghuni sama sekali.

Hanya ada satu cara yang tepat untuk mencegah urbanisasi, yaitu pusat pertumbuhan, kemakmuran, dan kesejahteraan dibangun di seantero negeri.

Pembangunan disebar merata ke 74 ribu desa di Indonesia. Cara ini sejalan dengan Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Pembangunan desa merupakan sebuah keniscayaan sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tujuan pembangunan desa ialah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta menanggulangi kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Sejauh ini, uang bukan lagi menjadi masalah untuk membangun desa. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 telah mengalokasikan dana Rp20,7 triliun. Per April 2015, pemerintah telah menyalurkan dana desa tahap pertama kepada 63 kabupaten senilai lebih dari Rp898 miliar.

Jumlah uang yang begitu besar akan sia-sia jika desa tidak mampu memilih dan menetapkan prioritas pembangunan. Mestinya, desa fokus kepada pembangunan berbasis pertanian. Industrialisasi yang dikembangkan pun ialah yang bisa mendukung dan memperkuat pertanian. Badan usaha milik desa yang diamanatkan Undang-Undang Desa hendaknya berurusan dengan pengelolaan dan pemasaran hasil-hasil pertanian pascapanen.

Pembangunan desa membutuhkan kreativitas dan inovasi. Sayangnya, tenaga yang kreatif dan inovatif masih langka di desa. Karena itu, pemerintah bisa menempatkan tenaga pendamping yang profesional di desa. Pertimbangan profesionalitas patut diberi garis bawah yang tebal agar rekrutmen tenaga pendamping tidak didasari pertimbangan sempit, misalnya kader partai politik tertentu. Tenaga profesional itu juga diharapkan mampu menekan dan mencegah syahwat korupsi dana desa.

Membangun desa pada hakikatnya ialah membangun Indonesia. Hanya itu cara bermartabat untuk menekan laju migrasi penduduk desa ke kota. Ketika desa sudah makmur, urbanisasi tidak lagi menjadi momok saban arus balik Lebaran.

sumber : http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/481/Membangun-Desa-Mencegah-Urbanisasi/2015/07/21

0 Response to "Membangun Desa Mencegah Urbanisasi"

Posting Komentar