pelaku tindakan kekerasan dan pelecehan di MOS dapat ditindak loh


kalian tahu gak sih, sebenarnya apa yang dilakukan oleh senior yang selalu melakukan tindakan kekerasan/pelecehan terhadap siswa/mahasiswa baru itu merupakan tindakan yang melawan hukum? 

kalo masih bingung simak ajah ulasan yang akan TS bahas kali ini 

Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Dewasa ini, tindakan kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying.

Pada kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun bahkan seorang guru terhadap muridnya. Terlepas dari alasan apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap saja praktik bullying tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di lingkungan sekolah.

Maraknya tayangan-tayangan kekerasan dalam dunia pendidikan, khususnya yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya ataupun oleh siswa terhadap temannya, seharusnya mampu membuka atau menggugah hati kita sebagai seorang pendidik, bahwa tidak tertutup kemungkinan praktik bullying tersebut terjadi pula di lingkungan sekolah kita masing-masing.

Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan.

MOS dan OSPEK seringkali dijadikan ajang para senior untuk menunjukkan kekuasaan dan senioritasnya. Dalam kegiatan ini, tak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan pada junior. Hukuman seperti push up, lari keliling lapangan, atau di jemur di bawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecut hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, alasan sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam atas perlakukan senior terdahulu.

Maka, pada masa-masa awal tahun ajaran, tak jarang terdengar ungkapan “Aku jadi panitia ospek nih, lumayan bisa ngerjain anak baru, dapat baju kaos gratis lagi”. Tidak hanya sampai di situ, para senior juga mempermalukan juniornya dengan menyuruh membawa dan menggunakan dot bayi, mengikat rambut dengan pita warna-warni, memakai kaos kaki berlainan warna dan lain sebagainya. Semua atribut ini pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan tujuan awal di lakukannya MOS atau OSPEK, melainkan semata-mata sebagai alat untuk mengerjai junior, agar acara semakin meriah. Kedua kegiatan ini juga seringkali dirancang tanpa memperhatikan hal-hal penting yang mendukung aktivitas belajar, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menjadi ‘acara pembuka’ yang baik dalam memulai aktivitas akademis.

Kekerasan dan pelecehan yang terkandung dalam kegiatan ini akan terus berulang setiap tahun apabila tidak segera dihentikan. Junior yang sekarang menjadi korban, akan mencari korban lain di tahun depan, terus dan akhirnya membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya. Sangat patut disayangkan, kegiatan semacam ini justru telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Tindakan kekerasan dan pelecehan dalam dunia pendidikan, disadari atau tidak, ibarat menanam bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Generasi muda yang terbiasa dengan kekerasan dan tindakan pelecehan akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memandang segala sesuatu dari sudut pandang kekerasan pula. Maka, bukan hal yang mustahil kalau mereka akan menerapkan kekerasan dalam perilaku keseharian, terutama ketika menyelesaikan masalah. Inilah yang akhir-akhir ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak hanya pada kegiatan MOS dan OSPEK, dalam aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan dosenpun harus menjadi perhatian.

Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus.
Kekerasan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tentunya sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan. Berikut paparan mengenai kekerasan bila ditinjau dari berbagai landasan pendidikan di Indonesia:


A. Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan : 
 Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:

  1. pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

  1. pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas)

  1. Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
    • (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
    • (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
    • (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
    • (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.


Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual;

  • (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
  • (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
(UU Perlindungan Anak)

Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.

Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” (UU Perlindungan Anak)

Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.


0 Response to "pelaku tindakan kekerasan dan pelecehan di MOS dapat ditindak loh"

Posting Komentar